Hari telah senja awan mendung pun mulai menyelimuti kota
metropolitan ini membuat suasana semakin gelap, di saat itu di sebuah
SMU Negeri terkenal di kota itu nampak gadis-gadis membubarkan diri dari
sebuah ruang aula olahraga. Mereka mengakhiri latihan rutin paduan
suaranya.
Tawa dan
canda khas gadis-gadis SMU mengiringi mereka bubar, satu demi satu
mereka keluar dari halaman sekolah yang telah gelap itu. Sementara itu
suara gunturpun terdengar pertanda hujan akan segera turun. Ada yang dijemput oleh orangtuanya, adapula yang membawa mobil pribadi, dan ada juga yang menggunakan angkutan umum.
Aku
sangatlah hafal dengan aktifitas anak-anak SMU ini, karena memang sudah
hampir sebulan ini aku bekerja sebagai tukang cat disekolah ini. Usiaku
memang sudah tidak muda lagi, saat ini aku berusia 48 tahun. Aku adalah
seorang duda, istriku sudah lama minggat meninggalkanku setelah
mengetahui aku tengah melakukan hubungan intim
dengan keponakannya. Reputasiku sebenarnya lebih banyak didunia hitam,
dulu aku dikenal sebagai seorang germo yang aku sambi dengan berdagang
ganja. Namun beberapa bulan yang lalu semua para wanita yang aku jajakan
terkena razia dan kemudian bisnis ganjaku hancur setelah kurir yang
biasa membawa ganja ditembak mati oleh aparat.
Di sekolah ini aku
tidaklah sendirian aku masuk bekerja dengan sahabatku yang bernama
Charles yang seorang residivis kambuhan. Usianya tidak begitu jauh
denganku yaitu 46 th, perawakannya tinggi besar rambutnya panjang dan
kumal. Kami berdua sengaja hidup berpindah-pindah tempat. Kami bukanlah
pekerja tetap di sekolah ini, kami hanya mendapat order untuk
mengerjakan pengecatan kusen-kusen pintu-pintu kelas di sekolah ini.
Kami
tidak dibayar mahal namun kami memiliki kebebasan untuk tinggal
dilingkungan sekolah ini. Maklumlah kami adalah perantau yang hidup
nomaden. Di antara gadis-gadis tadi, ada salah seorang yang paling
menonjol. Aku sangatlah hafal dengannya. Karena memang dia cantik,
lincah dan aktif dalam kegiatan sekolah, sehingga akupun sering melihat dia mondar-mandir di sekolahan ini.
Adinda
Wulandari namanya. Postur tubuhnya mungil, wajahnya cantik dan
imut-imut, kulitnya putih bersih serta wangi selalu, rambutnya ikal
panjang sebahu dan selalu diikat model
ekor kuda. Penampilannyapun modis sekali, seragam sekolah yang
dikenakannya selalu berukuran ketat, rok seragam abu-abunya berpotongan
sejengkal di atas lutut sehingga pahanya yang putih mulus itu terlihat,
ukuran roknyapun ketat sekali membuat pantatnya yang sekal itu terlihat
menonjol, sampai-sampai garis celana dalamnya pun terlihat jelas
melintang menghiasi lekuk pantatnya, tak lupa kaos kaki putih selalu menutupi betisnya yang putih mulus itu.
Tidak
bisa kupungkiri lagi aku tengah jatuh cinta kepadanya. Namun perasaan
cintaku kepada Adinda lebih didominasi oleh nafsu sex semata. Gairahku
memuncak apabila aku memandanginya atau berpapasan dengannya disaat aku
tengah bekerja di sekolah ini. Ingin aku segera meyetubuhinya. Banyak
sudah pelacur-pelacur kunikmati akan tetapi belum pernah aku menikmati
gadis perawan muda yang cantik dan sexy seperti Adinda ini. Aku ingin
mendapatkan kepuasan itu bersama dengan Adinda.
Informasi demi
informasi kukumpulkan dari orang-orang disekolah itu, dari penjaga
sekolah, dari tukang parkir, dari karyawan sekoah. Dari merekalah aku
mengetahui nama gadis itu. Dan dari orang-orang itupun aku tahu bahwa
Adinda adalah seorang siswi yang duduk di kelas 2, umurnya baru 16
tahun. Beberapa saat yang lalu dia merayakan hari ulang tahunnya yang
ke-16 di kantin sekolah ini bersama teman-temannya sekelas. Diapun
termasuk siswi yang berprestasi, aktif dalam kegiatan paduan suara dan
paskibra di sekolah ini. Dan yang informasi terakhir yang kudapat bahwa
dia ternyata adalah salah seorang finalis foto model yang
diselenggarakan oleh sebuah majalah khusus untuk remaja putri terkenal
di Negeri ini dan bulan depan dia akan mengikuti seleksi tahap akhir.
Kini
disaat sekolah telah sepi salah satu dari gadis-gadis anggota paduan
suara tadi itu tengah merintih-rintih dihadapanku. Dia adalah gadis yang
terakhir kalinya masih tersisa di dalam sekolah ini, yang sedang asyik
bercanda ria dengan temannya melalui HP-nya, semetara yang lainnya telah
meninggalkan halaman sekolah. Beberapa menit yang lalu melalui sebuah
pergulatan yang tidak seimbang aku telah berhasil meringkusnya dengan
mudah, kedua tangannya kuikat dengan kencang kebelakang tubuhnya, dan
mulutnya kusumpal dengan kain gombal. Setelah itu kuseret tubuhnya ke
bangsal olahraga yang berada di bagian belakang bangunan sekolah ini.
Tidak
salah salah lagi gadis itu adalah Adinda, gadis cantik sang primadona
sekolah ini yang telah lama kuincar. Aku sangat hafal dengan
kebiasaannya yaitu menunggu jemputan supir orang tuanya di kala selesai
latihan sore dan sang supir selalu terlambat datang setengah jam dari
jam bubaran latihan. Sehingga dia paling akhir meninggalkan halaman
sekolah. Kini dia meringkuk dihadapanku, dengan tangisannya yang teredam
oleh kain gombal yang kusumpal di mulutnya.
Sepertinya dia
memohon-mohon sesuatu padaku tetapi apa peduliku, air matanya nampak
mengalir deras membasahi wajahnya yang cantik itu. Sesekali nampak dia
meronta-ronta mencoba melepaskan ikatan tali tambang yang mengikat erat
di kedua tangannya, namun sia-sia saja, aku telah mengikat erat dengan
berbagai simpul.
Posisinya kini bersujud di hadapanku, tangisannya
kian lama kian memilukan, aku menyadari sepenuhnya bahwa dia kini tengah
berada dalam rasa keputusasaan dan ketakutan yang teramat sangat di
dalam dirinya. Kunyalakan sebatang rokok dan kunikmati isapan demi
isapan rokok sambil kutatap tajam dan kupandangi tubuh gadis cantik itu,
indah nian tubuhnya, kulitnya putih bersih, pantatnya sekal berisi.
Kunikmati
rintihan dan tangis gadis cantik yang tengah dilanda ketakutan itu,
bagai seseorang yang tengah menikmati alunan musik di dalam ruangan
sepi. Suara tangisnya yang teredam itu memecahkan kesunyian bangsal
olahraga di sekolah yang tua ini. Sesekali dia meronta-ronta mencoba
melepaskan tali ikatan yang mengikat kedua tangannya itu.
Lama
kelamaan kulihat badannya mulai melemah, isak tangisnya tidak lagi
sekeras tadi dan sekarang dia sudah tidak lagi meronta-ronta mungkin
tenaganya telah habis setelah sekian lamanya menagis meraung-raung
dengan mulutnya yang telah tersumbat. Sepertinya di dalam hatinya dia
menyesali, kenapa Heru supirnya selalu terlambat menjemputnya, kenapa
tadi tidak menumpang Desy sahabat karibnya yang tadi mengajaknya pulang
bareng, kenapa tadi tidak langsung keluar dari lingkungan sekolah di
saat latihan usai, kenapa malah asyik melalui HP bercanda ria dengan
Fifi sahabatnya. Yah, semua terlambat untuk disesali pikirnya, dan saat
ini sesuatu yang mengerikan akan terjadi pada dirinya.
“Beres Yon.., pintu pagar depan sudah gue tutup dan gembok”, terdengar suara dari seseorang yang tengah memasuki bangsal.
Ternyata Charles dengan langkah agak gontai dia menutup pintu bangsal yang mulai gelap ini.
“OK.. Sip, gue udah beresin nih anak, tinggal kita pake aja..”, ujarku kepada Charles sambil tersenyum.
Kebetulan
malam ini Pak Parijan sang penjaga sekolah beserta keluarganya yang
tinggal di dalam lingkungan sekolah ini yaitu sedang pulang kampung,
baru besok lusa mereka kembali ke sekolah ini. Mereka langsung
mempercayakan kepada kami untuk menjaga sekolah ini selama mereka pergi.
Maka
tinggallah kami berdua bersama dengan Adinda yang masih berada di dalam
sekolah ini. Pintu gerbang sekolah telah kami rantai dan kami gembok
sehingga orang-orang menyangka pastilah sudah tidak ada aktifitas atau
orang lagi di dalam gedung ini. Pak Heru sang supir yang menjemput
Adinda pastilah berpikiran bahwa Adinda telah pulang, setelah melihat
keadaan sekolah itu.
Kupandang lagi tubuh Adinda yang lunglai itu,
badannya bergetar karena rasa takutannya yang teramat sangat di dalam
dirinya. Hujanpun mulai turun, ruangan di dalam bangsal semakin gelap
gulita angin dinginpun bertiup masuk ke dalam bangsal itu, Charles
menyalakan satu buah lampu TL yang persis diatas kami, sehingga cukup
menerangi bagian disekitar kami saja. Kuhisap dalam-dalam rokokku dan
setelah itu kumatikan. Mulailah kubuka bajuku satu per satu, hingga
akhirnya aku telanjang bulat. Batang kemaluanku telah lama berereksi
semenjak meringkus Adinda di teras sekolah tadi.
“Gue dulu ya..”, ujarku ke Charles.
“Ok boss..”, balas Charles sambil kemudian berjalan meninggalkan aku keluar bangsal.
Kudekati
tubuh Adinda yang tergolek dilantai, kuraba-raba punggung gadis itu,
kurasakan detak jantungnya yang berdebar keras, kemudian tanganku turun
hingga bagian pantatnya yang sekal itu, kuusap-usap pantatnya dengan
lembut, kurasakan kenyal dan empuknya pantat itu sambil sesekali
kutepok-tepok. Badan Adinda kembali kurasakan bergetar, tangisnya
kembali terdengar, sepertinya dia kembali memohon sesuatu, akan tetapi
karena mulutnya masih tersumbat suaranyapun tidak jelas dan aku tidak
memperdulikannya.
Dari daerah pantat tanganku turun ke bawah ke
daerah lututnya dan kemudian menyelinap masuk ke dalam roknya serta naik
ke atas ke bagian pahanya. Kurasakan lembut dan mulus sekali paha
Adinda ini, kuusap-usap terus menuju keatas hingga kebagian pangkal
pahanya yang masih ditutupi oleh celana dalam.
Karena sudah tidak
tahan lagi, kemudian aku posisikan tubuh Adinda kembali bersujud, dengan
kepala menempel dilantai, dengan kedua tangannya masih terikat
kebelakang. Aku singkapkan rok seragam abu-abu SMU-nya sampai
sepinggang.
“Waw indah nian.. Gadis ini” gunamku sambil melototi paha dan pantat sekal gadis ini.
Kemudian
aku lucuti celana dalamnya yang berwarna putih itu, terlihatlah dua
gundukan pantat sekal gadis ini yang putih bersih. Sementara Adinda
terus menangis kini aku memposisikan diriku berlutut menghadap ke pantat
gadis itu, kurentangkan kedua kakinya melebar sedikit. Dengan jari
tengahku, aku coba meraba-raba selangkangan gadis ini. Disaat jari
tengahku menempel pada bagian tubuhnya yang paling pribadi itu,
tiba-tiba tubuh gadis ini mengejang. Mungkin saat ini pertama kali
kemaluannya disentuh oleh tangan seorang lelaki.
Di saat kudapatkan
bibir kemaluannya kemudian dengan jariku itu, aku korek-korek lobang
kemaluannya. Dengan maksud agar keluar sedikit cairan kewanitaannya dari
lobang kemaluannya itu. Tubuhnya seketika itu menggeliat-geliat disaat
kukorek-korek lobang kemaluannya, suara desahan-desahanpun terdengar
dari mulut Adinda, tidak lama kemudian kemaluannya mulai basah oleh
cairan lendir yang dikeluarkan dari lobang vag|nanya.
Setelah itu
dengan segera kucabut jari tengahku dan kubimbing batang kemaluanku
denga tangan kiriku kearah bibir vag|na Adinda. Pertama yang aku pakai
adalah gaya anjing, ini adalah gaya favoritku. Dan..
“Hmmpphh..”, terdengar rintihan dari mulut Adinda disaat kulesakkan batang kemaluanku kebibir vag|nanya.
Dengan
sekuat tenaga aku mulai mendorong-dorong batang kemaluanku masuk
kelobang kemaluannya. Rasanya sangat seret sekali, karena sempitnya
lobang kemaluan gadis perawan ini. Aku berusaha terus melesakkan batang
kemaluanku kelobang kemaluannya dengan dibantu oleh kedua tanganku yang
mencengkram erat pinggulnya.
Kulihat badan Adinda mengejang, kepala
mendongak keatas dan sesekali menggeliat-geliat. Aku tahu saat ini dia
tengah merasakan sakit dan pedih yang tiada taranya. Keringat terus
mengucur deras membasahi baju seragam sekolahnya, namun harum wangi
parfumnya masih terus tercium, membuat segarnya aroma Adinda saat itu,
rintihan-rintihan terdengar dari mulutnya yang masih tersumpal itu.
Dan
akhirnya setelah sekian lamanya aku terus melesakkan batang kemaluanku,
kini bobol sudah lobang kemaluan Adinda. Aku telah berhasil menanamkan
seluruh batang kemaluanku ke dalam lobang vag|nanya. Kurasakan
kehangatan di sekujur batang kemaluanku, dinding vag|na Adinda terasa
berdenyut-denyut seperti mengurut-urut batang kemaluanku.
Sejenak
kudiamkan batang kemaluanku tertanam di dalam lobang vag|nanya,
kunikmati denyutan-demi denyutan dinding vag|na Adinda yang mencengkram
erat batang kemaluanku. Selanjutnya kurasakan seperti ada cairan
mengucur mengalir membasahi batang kemaluanku dan kemudian meluber
keluar menetes-netes. Ah.. Ternyata itu darah, berarti aku telah
merenggut keperawanan dari gadis cantik ini.
Sementara itu kepala
Adinda kembali tertunduk di lantai, desah nafasnya terdengar keras,
badannya melemas. Setelah itu, aku mulai memompakan kemaluanku di dalam
lobang vag|nanya. Kedua tanganku yang mencengkram erat pinggulnya juga
membantu memajumundurkan tubuhnya. Badan Adinda kembali tegang, rintihan
kembali terdengar. Semakin lama aku semakin mempercepat gerakanku,
hingga tubuh Adinda tersodok-sodok dengan cepat sesekali, badannya juga
menggeliat-geliat.
Raut mukanya meringis-ringis akibat rasa sakit di
selangkangannya. Hujanpun mulai turun dengan deras dan aku ingin
menikmati rintihan-rintihan dari gadis ini. Sementara aku terus
menyodok-nyodok dari belakang, aku putuskan untuk membuka gombal yang
sedari tadi membekap mulutnya.
Dan, “Aakk.. Akkhh.. Oohh.. Ooh..
Iihh.. Oohh..”, suara erangan Adinda kini terdengar, kunikmati
suara-suara itu sebagai penghantar diriku yang tengah menyetubuhi gadis
ini.
Suaranya menggema di seluruh bangsal olahraga ini, namun masih
tertelan oleh suara derasnya hujan diluar. Adinda semakin terlihat
kepayahan, tubuhnya melemah namun aku masih terus menggenjotnya,
gerakanku semakin cepat.
Bosan dengan posisi itu aku cabut kemaluanku
dari lobang vag|nanya dan kulihat darah berceceran membasahi
selangkangannya dan kemaluanku. Sejenak Adinda mendesahkan nafas lega,
kubalik tubuhnya, dan kini posisi dia telentang. Setelah itu
kurentangkan kedua kakinya dan kulipat hingga kedua pahanya menyentuh
dadanya. Kulihat jelas kemaluan gadis ini, indah sekali. Bulu-bulunya
yang masih jarang-jarang itu tumbuh menghias di sekitar bibir
kemaluannya.
“Ohh.. Jangann Bang.. Ampun.. Bang.. Oohh.. Sakitt
sekali.. Bang”, terdengar Adinda merintih pelan memohon belas kasihan
kepadaku.
Dengan menyeringai aku tindih tubuh Adinda itu. Kembali aku benamkan batang kemaluanku di dalam lobang vag|nanya.
“Aakkhh..”,
Adinda terpekik matanya terpejam, roman mukanya kembali meringis
kesakitan dikala aku menanamkan batang kemaluanku ke dalam lobang
kemaluannya.
Setelah itu aku kembali memompakan tubuhku, menggenjot
tubuh Adinda. Batang kemaluanku dengan gaharnya mengaduk aduk,
menyodok-nyodok lobang kemaluannya. Tubuh Adinda kembali tersodok-sodok.
Sesekali kuputar-putar pinggulku, yang membuat tubuh Adinda kembali
kelojotan, dari bibir Adinda terdengar desahan-desahan halus
“Ohh.. Enngghh.. Oohh.. Ohh.. Oohh..”.
Setelah
sekian menit lamanya aku menyetubuhinya, aku merasakan diriku akan
berejakulasi. Segera kupeluk kepalanya dan kucengkram erat dengan kedua
tanganku setelah itu irama gerakanku kupercepat.
“Aakkhh..” akupun
mengejan, tubuhku mengeras. Croot.. Croott.. Croott.. Akupun
berejakulasi, kusemprotkan spermaku di dalam rahimnya. Banyak sekali
sperma yang kukeluarkan menyemprot membasahi liang vag|nanya hingga
meluber keluar meleleh membasahi pahanya.
Kulihat raut muka Adinda
saat itu nampak panik, sinar matanya menunjukkan kekalahan dan
kepedihan. Dengan tatapan sayu dia memandangiku disaat aku mengejan
menyemprotkan spermaku yang terakhir. Ahh nikmat sekali gadis ini, baru
kali ini aku merengut keperawanan seorang gadis kota yang cantik.
Setelah
itu akupun merebahkan tubuhku menindih tubuhnya yang lemah, sambil
mengatur nafasku. Tubuhku berguncang-guncang akibat dari isakan-isakan
tangisnya serta nafasnya yang tersengal-sengal, sementara itu kemaluanku
kubiarkan tertanam di dalam lobang kemaluannya.
Kubelai-belai
rambutnya, kukecup-kecup pipi dan bibirnya. Terasa lembut sekali
bibirnya, kumainkan lidahku di dalam mulutnya, sejenak aku bercumbu
mesra dengan Adinda. Dia hanya terisak-isak dengan nafas yang terus
tersengal-sengal. Akhirnya kusudahi permainanku ini, aku bangkit sambil
mencabut kemaluanku.
“Ouugghh..”, Adinda merintih panjang saat kutarik kemaluanku keluar dari lobang vag|nanya.
Kulihat
diselangkangannya telah penuh dengan cairan-cairan kental dan darah
penuh membasahi bulu-bulu kemaluannya. Tak kusadari Charles ternyata
telah berdiri didekatku, dan rupanya dia telah telanjang bulat menunggu
gilirannya, badannya yang kekar dan tinggi itu nampak semakin sangar
dengan banyaknya gambar-gambar tattoo yang menghiasi sekujur dada dan
lengannya. Dengan rasa toleran sebagai seorang sahabat, akupun
menyingkir dari tubuh Adinda yang tergolek lemas dilantai. Aku ambil
jarak beberapa meter dari tubuh Adinda kemudian aku kembali merebahkan
tubuhku. Dengan tiduran terlentang dilantai aku menggali kembali rasa
nikmatku setelah melampiaskan nafsuku ke Adinda tadi.